Opini  

Pemilu Dipisah 2029: Dilema Politik, Kekosongan Kepemimpinan, dan Ujian Demokrasi

Putusan MK soal pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah mulai 2029 membawa implikasi besar bagi partai politik, kepala daerah, DPRD, dan masa depan demokrasi Indonesia.

Ilustrasi kekosongan kepala daerah dan DPRD. (Ilustrasi; Wisnu Aditya/Radio Boss)

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menandai titik balik dalam sejarah pemilu Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak era reformasi, pemilu nasional dan pemilu daerah diputuskan akan dipisah pelaksanaannya mulai tahun 2029. Keputusan yang terlihat sebagai penyederhanaan teknis ini ternyata menyimpan polemik mendalam, dari hulu ke hilir demokrasi elektoral kita.

Tantangan Baru bagi Partai Politik

Bagi partai politik, pemisahan ini memaksa mereka menyusun strategi politik dalam dua fase yang berbeda. Jika selama ini mereka bisa mengandalkan efek ekor jas (coattail effect) dari calon presiden untuk mendongkrak suara legislatif dan kepala daerah, maka strategi itu tak lagi relevan.

Kini, partai harus menanggung beban logistik dua kali: satu untuk pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan satu lagi untuk pemilu daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota, DPRD) yang akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Biaya politik melonjak, kaderisasi dipaksa lebih tajam, dan konsolidasi terancam terpecah.

Partai besar mungkin bisa beradaptasi, namun partai kecil dan lokal terancam kesulitan bertahan secara infrastruktur dan pendanaan, terutama jika gagal meraih kursi di tingkat nasional.

Kekosongan Kepala Daerah: Ancaman Demokrasi Lokal

Dampak yang lebih mengkhawatirkan muncul dari potensi kekosongan kepala daerah. Kepala daerah hasil Pilkada 2024 akan mengakhiri masa jabatannya pada 2029. Namun, Pilkada berikutnya baru digelar 2031. Apa yang terjadi selama dua tahun kekosongan itu?

Opsi yang muncul hanya dua: perpanjangan masa jabatan atau penunjukan Penjabat (PJ) oleh pemerintah pusat. Kedua opsi ini bermasalah.

Jika diperpanjang, akan muncul kritik tentang perpanjangan tanpa mandat baru dari rakyat. Jika diisi oleh PJ, publik akan dihadapkan pada pemimpin non-elektoral, tanpa legitimasi suara, dan sangat rawan politisasi kekuasaan. Demokrasi lokal bisa terancam hanya karena jeda dua tahun yang tak diantisipasi matang.

DPRD dan Risiko Konstitusi

Tidak hanya eksekutif daerah, legislatif lokal juga terdampak. Masa jabatan anggota DPRD akan habis pada 2029, padahal pemilu legislatif daerah baru digelar 2031. Apakah akan diperpanjang tanpa pemilu?

Jika ya, maka perpanjangan itu berisiko dianggap melanggar prinsip demokrasi periodik. Jika tidak, maka kita akan berhadapan dengan kekosongan legislatif yang bisa melumpuhkan fungsi anggaran dan pengawasan daerah selama dua tahun.

Akankah Demokrasi Kita Kembali Diuji?

Putusan MK ini memang telah bersifat final dan mengikat. Namun, konsekuensinya tidak bisa dianggap remeh. Ia bukan sekadar persoalan waktu pelaksanaan pemilu, tetapi menyangkut arsitektur demokrasi secara keseluruhan: relasi pusat-daerah, efektivitas partai, legitimasi kekuasaan, hingga kepercayaan publik pada proses demokrasi.

DPR dan pemerintah kini berada di simpang jalan. Revisi undang-undang pemilu dan pilkada harus segera dirancang, bukan sekadar untuk menjalankan putusan MK, tetapi juga untuk menjaga integritas demokrasi agar tidak tumbang di tangan keputusan yang tidak diiringi kesiapan sistemik.

Jika pemilu dipisah adalah keniscayaan, maka penataan ulang sistem politik daerah juga harus menjadi prioritas. Jangan sampai keputusan yang dimaksudkan untuk menyempurnakan demokrasi justru menjerumuskan kita ke dalam jurang kekosongan legitimasi dan kemunduran tata kelola pemerintahan.

Demokrasi bukan sekadar prosedur. Ia harus hadir dalam legitimasi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada rakyat. Dan semua itu, hanya bisa dijaga jika keputusan besar seperti ini diiringi kebijakan yang matang, adil, dan berpihak pada kepentingan publik, bukan elite semata. (ws/rbs)

RATECARD UMKM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *