Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Radio Boss.
Premanisme bukan sekadar ancaman fisik di jalanan; ia adalah hantu laten yang menghantui dunia usaha, dari level paling bawah seperti pedagang kaki lima hingga perusahaan berskala besar. Lebih parah lagi, keberadaan premanisme telah menjadi sandungan besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Ketika seorang pelaku UMKM harus “menyetor” setiap hari hanya agar lapaknya tak diobrak-abrik, atau ketika sebuah perusahaan harus menganggarkan biaya “keamanan liar” agar proyeknya berjalan, maka di situlah hukum dan keadilan telah dirampas oleh kekuasaan preman.
Tak hanya merugikan pelaku usaha, premanisme juga menggerogoti kepercayaan investor. Siapa yang mau menanamkan modal di wilayah yang aturannya bisa dibeli oleh kekuatan jalanan? Siapa yang yakin membuka pabrik atau toko baru jika setiap langkah bisnis harus melalui “izin tak tertulis” dari pihak tak berwenang?
Premanisme adalah lintah darat yang menyedot darah dari dunia usaha tanpa memberi kontribusi apa pun terhadap produktivitas. Ia menghambat inovasi, menurunkan daya saing, dan menciptakan ketakutan yang menular. Dalam jangka panjang, keberadaan preman ini tak hanya membuat pelaku usaha kecil merugi, tapi juga membuat para investor angkat kaki, meninggalkan daerah yang sebenarnya penuh potensi.
Sudah saatnya pemerintah, aparat hukum, dan masyarakat bersatu untuk memberantas premanisme, bukan sekadar sebagai penegakan hukum, tetapi juga sebagai langkah strategis membangun iklim usaha yang sehat, adil, dan berkelanjutan. Premanisme harus dilenyapkan, bukan dinegosiasikan. Karena ketika hukum tunduk pada preman, maka masa depan ekonomi kita hanya tinggal cerita. [ws]